Rabu, 29 Januari 2014

Budaya daerah: pertahankan atau hilangkan?

Sebagai orang desa aktivis karang taruna (dulu), maka istilah "nguri-uri kabudayan" atau mempertahankan budaya adalah sebuah kata yang tertancap kuat di pikiran. Istilah itu sering disampaikan dalam rapat pemuda minggu legi terutama oleh penasehat (bapak-bapak). Yang selalu dikatakan adalah bahwa budaya Jawa adalah budaya adiluhung dan luhur (dalam kamus KBBI, adiluhung adalah tinggi mutunya, seni budaya yang bernilai dan wajib dipelihara).

Ada sesuatu yang senantiasa menggelayut di pikiran saya ketika itu: sebenarnya budaya Jawa itu yang mana to? Apakah semuanya baik dan harus dipertahankan?

Sebuah jawaban akhirnya saya dapatkan justru ketika saya kuliah di Malaysia. Salah seorang kawan orang Jogja yang juga kuliah di sana suatu saat bercerita bahwa budaya Jawa itu tertulis dalam sebuah kitab yang namanya serat centhini (padahal selama ini yang saya denger, serat centhini adalah bahwa kitab itu adalah kitab kamasutranya jawa... hehe). Serat centhini merupakan gambaran kebudayaan jawa yang ditulis dalam bentuk tembang jawa.

Sebuah budaya adalah cara hidup yang dikembangkan dan diakui dalam sebuah kelompok yang diwariskan dari generasi ke generasi. Proses pembuatannya lama dan berkembang sedikit demi sedikit bergantung pada agama, politik, kondisi sosial, dan lain-lain.

Menurut Hoenigman, budaya akan mempunyai 3 wujud yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak atau karya. Salah satu contoh gagasan dalam budaya Jawa adalah penghormatan kepada orang yang lebih tua, membungkukkan badan ketika lewat di depan orang lain, turun dari kendaraan ketika berbincang bincang dan lain-lain. Dengan kata lain, salah satu contoh gagasan dalam budaya jawa adalah apa yang kita sebut dengan konsep tata krama. Salah satu contoh aktivitas budaya Jawa adalah seperti yang dinyatakan oleh Suwardi Endraswara, yaitu bahwa orang Jawa adalah orang yang cenderung nrimo, mudah menerima segala sesuatu dengan hati legowo. Contoh dari artefak budaya jawa adalah cerita-cerita seperti kancil nyolong timun, lagu dolanan, dolanan anak dan sebagainya.

Dalam wujud pertama, yaitu gagasan (tata krama), budaya Jawa memberikan banyak sekali tuntunan yang berguna. Konsep tata krama yang diajarkan dalam budaya Jawa adalah sangat baik. Hanya saja, konsep menghormati yang tua terkadang membuat hubungan jadi superior-inferior, senior-junior, tidak setara. Konsep ini yang terkadang membuat orang yang lebih tua merasa lebih berpengalaman dan lebih layak didahulukan daripada yang muda, meksipun yang muda lebih baik darinya. Konsep ini sering membuat orang yang lebih tua tidak mau mendengarkan nasehat dari yang lebih muda. Dalam peribahasa bahkan disebut sebagai kebo nusu gudel. Hewan kebo (atau kerbau) dalam budaya Jawa dikonotasikan sebagai hewan yang dungu (seperti dalam plonga plongo koyo kebo - bodoh atau dungu).

Dalam wujud kedua, konsep nrimo memberikan nuansa tersendiri dalam hubungan orang Jawa dengan orang dari budaya lain. Salah seorang kawan bercerita ketika dia bekerja di Australi, bahkan bosnya memberikan cek kosong untuk orang Indonesia karena merasa senang sekali dengan sikap nrimo-nya, tidak banyak protes, dimarahi diem saja, dan sebagainya yang serupa dengan itu. Di satu sisi, memang ini satu kelebihan, tapi di sisi lain sikap nrimo ini membuat rata-rata orang Jawa jadi tidak mempunyai passion dan harga diri yang kuat. Banyak orang Jawa yang selama hidupnya nrimo dengan jadi penjual bakso ojek atau penjual es krim keliling dan bisnisnya stagnan tidak berkembang (di tempat saya banyak sekali yang jualan sejak dulu saya SD, sampai sekarang juga masih sama). Di satu sisi, nrimo membuat mereka bersyukur alhamdulillah bahwa mereka masih bisa hidup dan membiayai anaknya. Di sisi lain, nrimo justru membuat mereka terjebak pada sesuatu yang seharusnya mereka bisa lebih baik.

Dalam wujud ketiga, dolanan anak memberikan banyak sekali manfaat: interaksi sosial, kecerdikan, aktivitas fisik, dan lain-lain. Akan tetapi, dalam wujudnya sebagai cerita rakyat dan tembang-tembang, banyak yang perlu dikritisi. Cerita kancil nyolong timun misalnya. Cerita ini justru mengajarkan kita bahwa orang yang mencuri (kancil) adalah orang yang cerdik. Contoh yang lain misalnya lagu menthok:
menthok menthok tak kandhani, mulakumu angisin-isini, mbok yo ojo ngetok ono kandhang wae, enak-enak ngorok ora nyambut gawe. menthok-menthok mulakumu gawe guyu 
Dulu ketika saya kecil, saya seneng sekali menyanyikan lagu ini dan tertawa ketika melihat menthok yang jalannya megal-megol. Tapi saya mulai berfikir lagu ini ketika saya jadi interpreter dalam sebuah seminar internasional bertema "mobility and health" yang menyadarkan bahwa banyak sekali orang cacat di dunia ini. Lagu tersebut secara tidak langsung menyindir orang-orang cacat tersebut "ngisin-isini" atau memalukan. Karena memalukan, mereka lebih baik tinggal saja di rumah mereka, tidur dan tidak bekerja. Ah, kasian.

Dalam cerita yang lain seperti cerita timun mas. Menurut saya, cerita itu justru mengajarkan ketidakbaikan seperti (1) Mbok rondho yang pengen punya anak tapi bukannya berusaha mencari suami dan mohon kepada Allah, malah meminta bantuan buto ijo, (2) Mbok rondho yang ingkar terhadap janjinya yang akan memberikan timun mas pada buto ijo ketika usia timun mas 16 tahun, (3) Mbok rondho yang meminta bantuan dukun untuk melawan buto ijo.

Ah, apakah kita tetap mau mempertahankan cerita-cerita itu dan mau mengajari anak kita untuk cerdik dengan mencuri, tidak ikhtiar tapi mencari bantuan kepada jin dan setan, mengajari untuk ingkar janji dan meminta bantuan dukun? Maaf, kalau saya kok tidak....

Demikian sedikit catatan saya tentang budaya terutama budaya Jawa. Mohon kritisinya....

3 komentar:

  1. banyak yang harus ditinggalkan pak seperti perilaku sirik. namun sepertinya cukup banyak juga yang baik, intinya yang tidak bertentangan dengan syariah. contoh : gotong royong, batik, dll, cmiiw

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Terima kasih, mas Awan, atas kunjungan dan komentarnya. Betul, mas. Kalau menangkap maksud utuh saya juga seperti itu, mas. Intinya memang tidak semuanya jelek.
    1. Ada yang bagus, bisa dipakai AS IS
    2. Ada yang bagus, tapi perlu sedikit dikritisi
    3. Ada yang kurang bagus, ada yang bisa diambil ada yang tidak
    4. Ada yang tidak bagus, ditinggalkan saja.

    BalasHapus